Berikut ini 5 dari beberapa manfaat pernikahan menurut Islam.
(I): Menyehatkan Mental
Allah SWT berfirman yang artinya, “Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kamu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu sakinah kepadanya dan dijadikan-Nya rasa kasih dan sayang di antara kamu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21).
“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu, dan darinya Dia
menciptakan istrinya agar dia sakinah kepadanya.” (Al-A’raf: 189).
.
Pada ayat pertama dan kedua dijelaskan bahwa melalui pernikahan yang sah, laki-laki dan perempuan akan mendapatkan sakinah. Dengan mendapat sakinah seseorang dijamin kesehatan mentalnya.
Kata “sakinah” dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti, yaitu rukun, akrab, intim, jinak, berkumpul, bersatu, bersahabat, ramah-tamah, percaya, senang, dan reda. Jadi, secara keseluruhan, sakinah berarti suasana rumah tangga dari laki-laki dan perempuan yang saling mencintai, yang hidup bersatu, rukun, bersahabat, akrab, ramah, intim, saling mempercayai, menyenangkan, meredakan, dan saling berkumpul.
Ringkasnya, sakinah adalah keadaan keluarga yang bahagia dan tenteram. Hal ini hanya dapat diwujudkan dalam pernikahan islami. Suasana keluarga seperti ini menjadi kebutuhan hidup manusia, sebab keadaan hidup manusia yang bahagia dan tenteram berpengaruh besar terhadap kesehatan mental suami istri. Berawal dari rumah tangga yang tenteram dan bahagia, seseorang akan memiliki ketenteraman hati dan kejernihan dalam berpikir.
Oleh karena itu, apabila kita ingin hidup dalam kondisi mental yang sehat, rumah tangga yang sakinah merupakan kunci utama. Jika kita ingin hidup dengan penuh kerukunan, saling mempercayai, saling menyenangi, akrab, serta untuk selalu memiliki keinginan bersatu terus dalam kehidupan sehari-hari, tetapi tidak mau terikat dalam pernikahan, berarti mental kita tidak sehat. Tuntutan naluri tersebut tidak mungkin dapat diwujudkan dalam pergundikan, pacaran, atau kumpul kebo. Hubungan seperti itu tidak dapat menyatukan laki-laki dan perempuan dalam suasana rukun, penuh rasa saling mempercayai, dan bersatu untuk selamanya.
Jadi, jelaslah bahwa pernikahan berpengaruh besar terhadap kesehatan mental. Oleh karena itu, setiap orang yang ingin mewujudkan rumah tangga yang menjamin kesehatan mentalnya hendaklah menikah.
(II): Menumbuhkan Kecintaan Sejati
Allah SWT berfirman yang artinya, “Hati manusia dihiasi rasa cinta kepada sesuatu yang menarik, yaitu perempuan, anak cucu, emas dan perak yang berlimpah, kuda-kuda yang bagus, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Yang demikian itu adalah kesenangan hidup di dunia, tetapi di sisi Allahlah tempat kembali yang paling baik.” (Ali Imran: 14).
Dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. lalu berkata, ‘Kami mempunyai seorang anak perempuan yatim. Dia telah dipinang oleh (dua orang lelaki) yang seorang miskin dan yang lainnya kaya. Akan tetapi, dia senang kepada yang miskin, sedangkan kami senang kepada yang kaya.’ Nabi bersabda, ‘Tidak pernah diketahui dua orang yang bercinta setulus cinta dalam pernikahan’.”(HR Ibnu Majah, Hakim, dan Baihaqi).
Pada ayat di atas dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dengan naluri kecintaan dan kesukaan kepada perempuan, anak cucu, dan harta kekayaan. Naluri ini diberikan oleh Allah agar manusia dapat merasakan kesenangan dan kenikmatan hidup di dunia.
Bagaimana cara seseorang menyalurkan dan memelihara naluri kecintaan kepada perempuan agar memperoleh kebahagiaan, kesejahteraan, dan keselamatan? Untuk dapat menyalurkan naluri tersebut, diperlukan ketentuan dan tuntunan yang jelas. Oleh karena itu, Allah memberi petunjuk bagi seluruh umat manusia untuk mewujudkan naluri kecintaan kepada perempuan. Allah menetapkan satu-satunya jalan halal untuk menyalurkan naluri tersebut adalah melalui pernikahan. Dengan menikah, laki-laki dan perempuan akan menyatu dalam ikatan yang sah sehingga naluri kecintaan mereka tersalurkan dengan baik.
Dalam hadis di atas ditegaskan adanya keutamaan pernikahan yang telah digariskan oleh Allah dalam agama-Nya. Keutamaan tersebut adalah menumbuhkan kecintaan sejati dan tulus antara laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istrinya. Rasulullah saw. bahkan menyebutkan bahwa tidak ada cinta yang tulus dan sejati antara laki-laki dan perempuan di luar ikatan pernikahan. Jika ada ikatan cinta dan kasih sayang antara seorang perempuan dan laki-laki, tidaklah seindah, setulus, dan sejujur yang ada pada pasangan yang terikat dalam pernikahan. Dengan ikatan pernikahan, kecintaan yang sebenarnya tumbuh di antara mereka.
Adapun cinta sebelum akad nikah baru merupakan bibit yang kelak dapat tumbuh dengan baik dan murni jika pernikahan telah berlangsung. Oleh karena itu, orang tua hendaklah memperhatikan keinginan anaknya ketika hendak menikahkan yang bersangkutan. Jika ternyata anaknya mencintai calonnya, hendaknya orang tua tidak menghalanginya.
Melalui pernikahan, seorang perempuan dan suaminya dapat mencurahkan seluruh cinta, harapan, angan-angan, dan cita-citanya tanpa keinginan saling memperbudak. Mereka tidak saling memperlakukan pasangannya sebagai pelayannya atau berlaku seperti seorang tuan kepada budaknya. Masing-masing menyadari bahwa dirinya merupakan bagian mutlak pasangannya dalam menempuh kehidupan yang diharapkan membahagiakan dan menyejahterakan dirinya. Pernikahan yang berdasarkan keikhlasan kepada Allah akan menanamkan kecintaan yang dalam sehingga tumbuh rasa tanggung jawab secara kukuh. Pernikahan seperti ini dilakukan dengan penuh kesadaran dan kerelaan.
Kecintaan sejati tidak dapat diwujudkan dalam pergundikan, kumpul kebo, pacaran, dan mut’ah (kawin kontrak). Hubungan yang hanya berlandaskan nafsu tersebut tidak dapat menumbuhkan cinta sejati yang menjamin kepercayaan dan ketenangan bagi yang menjalaninya.
Jadi, seorang laki-laki dan perempuan tidak akan mencapai kecintaan yang sejati dan tulus di luar ikatan pernikahan. Agar kita dapat merasakan dan menikmati kecintaan yang tulus dan sejati sepanjang hidup, satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah menikah.
(III): Memperbesar Rasa Malu
Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “Tiga golongan yang berhak mendapat pertolongan Allah, yaitu pejuang di jalan Allah, mukatab (budak yang membeli diri dari tuannya) yang mau melunasi pembayarannya, dan orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan (akhlak) nya.” (HR Tirmizi).
Hadis di atas menerangkan bahwa Allah menjamin akan memberi pertolongan kepada tiga golongan, yaitu orang yang berjihad di jalan Allah karena-Nya, budak yang berusaha membayar uang tebusan agar bebas dari tuannya, dan orang yang menikah karena ingin menghindari perilaku seksual yang tercela.
Pernikahan adakalanya dilakukan untuk menjauhkan diri dari perbuatan zina, homo, lesbian, sodomi, dan penyaluran seksual yang haram lainnya. Akan tetapi, adakalanya pernikahan dilakukan hanya untuk kebanggaan atau kepentingan duniawi, seperti mencari harta, kehormatan, kedudukan, dan lain-lainnya. Orang yang menikah semata-mata hendak memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya sehingga terhindar dari perilaku seksual tercela dijamin akan terpelihara rasa malu dan kehormatan dirinya dengan baik. Bahkan, Allah akan membukakan pintu rezeki yang luas baginya.
Pernikahan merupakan sarana paling tepat yang dapat mencegah manusia dari perbuatan-perbuatan haram, yaitu zina atau cara haram lain dalam penyaluran seksual. Orang yang berzina, atau yang menyalurkan dorongan seksual bukan dengan pasangannya yang sah berarti telah kehilangan rasa malu. Perilaku mereka seperti hewan yang tidak mengerti adab dalam melakukan hubungan seksual. Hewan melakukan hubungan seksual di mana pun dan dengan pasangan mana pun yang ia inginkan. Hal ini tidak patut, bahkan haram dijadikan tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, melalui pernikahan, perbuatan tersebut dapat dicegah sehingga nilai kemanusiaan tetap terpelihara.
(IV): Memperkuat Rasa Tanggung Jawab Laki-Laki
Allah SWT berfirman yang artinya, “Hendaklah mereka yang belum mampu menikah menjaga kehormatannya sampai Allah memberikan kecukupan kepada mereka dari karunai-Nya.” (An-Nur: 33).
“Orang yang mampu hendaklah memberikan nafkah sesuai dengan kemampuannya. Dan bagi yang berkekurangan hendaklah memberi nafkah sesuai dengan apa yang Allah berikan kepadanya. Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan pemberian yang diberikan kepadanya. Allah akan memberikan kemudahan setelah kesulitan.” (Ath-Thalaaq:7).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung sesuatunya (kalau terjadi sesuatu boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dsb). Adapun yang dimaksud dengan rasa tanggung jawab di sini adalah rasa memikul beban dan tugas yang harus dilaksanakan terhadap diri dan orang lain. Seorang laki-laki yang beristri akan dituntut memenuhi tugas dan kewajiban anak-anaknya agar mereka tidak terlantar atau menderita.
Dalam firman Allah di atas disebutkan bahwa laki-laki yang sudah menikah akan terpanggil untuk memenuhi kewajiban kepada istrinya dengan segenap kemampuan yang dimiliki. Bahkan, Allah menegaskan bahwa suami yang mampu harus memberikan belanja sesuai dengan kemampuannya, dan suami yang miskin tidak boleh dituntut memberikan belanja di luar kemampuannya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap laki-laki dan perempuan yang terikat dalam pernikahan memiliki naluri untuk memenuhi tanggung jawabnya secara maksimal. Oleh karena itu, pernikahan memberikan dorongan positif dan semangat yang kuat kepada laki-laki untuk tampil menjadi orang yang bertanggung jawab terhadap diri dan keluarganya.
Ketika seorang masih lajang, dia hanya bertanggung jawab memenuhi kepentingan dirinya sendiri. Oleh karena itu, terkadang ia mengabaikan tanggung jawab tersebut. Mencari makan misalnya, karena merasa tidak dituntut oleh orang lain, ia bekerja sesuka hati. Akan tetapi, apabila seorang laki-laki telah beristri, apalagi mempunyai anak, ia tidak dapat lagi bertindak sesuka hati dalam mencari nafkah.
Ia dituntut memenuhi kebutuhan beberapa jiwa yang menjadi tanggung jawannya. Jika hal ini tidak dilaksanakan dengan baik, ia akan terbebani rasa bersalah, bahkan Allah mengatakan bahwa yang bersangkutan berdosa terhadap istri dan anaknya. Rasa bersalah seperti ini akan mendorongnya memiliki semangat yang tinggi untuk mencari nafkah bagi istri dan anaknya. Bahkan, ia akan merasa tercela dan tidak berharga kalau tidak dapat melaksanakan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya.
Tumbuhnya rasa tanggung jawab yang kuat pada mereka yang berumah tangga adalah naluri yang Allah tanamkan pada diri manusia. Hal ini dapat mendorong mereka yang ingin memperkuat rasa tanggung jawabnya untuk segera berumah tangga sehingga kualitas dirinya meningkat.
Lebih luas lagi, naluri tersebut dapat berdampak positif dalam kehidupan bermasyarakat. Demikianlah karena dengan dimilikinya rasa tanggung jawab yang besar terhadap diri dan keluarga pada setiap anggota masyarakat, kesejahteraan keluarga dan seluruh masyarakat akan tercipta.
Agar hal ini tetap dapat menjadi dorongan positif dalam kehidupan bermasyarakat, hendaklah kita mendorong dan memacu para pemuda dan pemudi untuk berumah tangga. Selain itu, dalam masyarakat juga kita tanamkan pengertian bahwa hubungan laki-laki dan perempuan hanya dibenarkan dalam ikatan pernikahan. Adapun hubungan selain ikatan pernikahan, sama sekali tidak dibenarkan. Jika hubungan laki-laki dan perempuan di luar pernikahan seperti pelacuran, pergundikan, kumpul kebo, dll. tetap dibiarkan atau ditolelir berkembang, hal ini akan merusak tatanan hidup masyarakat sendiri dan menghancurkan semangat bertanggung jawab pada laki-laki dan perempuan yang menjalaninya.
Ikatan di luar pernikahan yang sah, karena norma hukumnya tidak ada, dengan sendirinya tidak akan menimbulkan rasa tanggung jawab. Hubungan laki-laki dan perempuan di luar pernikahan, seperti pergundikan, pelacuran, dan kumpul kebo, tidak akan menciptakan rasa tanggung jawab pada orang yang menjalaninya. Dalam hubungan tersebut, kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perempuan dan laki-laki tidak jelas. Hubungan yang dilakukan orang-orang yang moralnya rusak itu akan merusak moral masyarakat.
Ringkasnya, pernikahan yang sah akan menumbuhan rasa tanggung jawab yang kuat terhadap diri, keluarga, dan masyarakat pada diri mereka yang menjalaninya.
(V) Memelihara Kesehatan Fisik
Rasulullah saw. bersabda, “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kamu ada yang mampu menikah, hendaklah dia menikah. Karena pernikahan itu mampu menjaga pandangan mata dan kemaluan. Barang siapa yang belum mampu menikah, hendaklah berpuasa karena puasa itu ibarat pengebirian.”(HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Hadis di atas menjelaskan bahwa pernikahan dapat menyelamatkan laki-laki dan perempuan dari kerusakan akhlak dan penyimpangan seksual. Rasulullah saw. mengatakan bahwa pernikahan dapat menjaga pandangan manusia dari hal-hal yang haram dilihatnya. Selain itu, pernikahan juga akan menjauhkan manusia dari perbuatan zina.
Selanjutnya dijelaskan, jika seseorang belum mampu, hendaklah ia berpuasa. Hal ini karena puasa memiliki kesamaan dengan pernikahan. Puasa merupakan jalan yang sehat dalam pengendalian dorongan seksual, sedangkan pernikahan adalah jalan yang sehat untuk menyalurkan dorongan tersebut. Keduanya merupakan jalan untuk memelihara kesehatan fisik secara keseluruhan.
Setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, telah diberi naluri oleh Allah swt. keinginan berhubungan seksual. Naluri ini timbul karena hormon seksual ada dalam diri setiap laki-laki dan perempuan. Hormon ini terus berjalan sampai pada saat yang ditentukan oleh Allah. Hormon seksual laki-laki bekerja seumur hidupnya selama yang bersangkutan normal. Akan tetapi, hormon seksual perempuan bekerja sampai mencapai masa menapouse. Tekanan hormon yang tidak disalurkan secara halal akan menimbulkan gangguan fisik.
Penyaluran dorongan seksual yang dilakukan di luar pernikahan tidak dibenarkan oleh Islam. Bahkan pelakunya akan mendapat ancaman dari Allah. Orang-orang dan masyarakat yang membiarkan perbuatan terkutuk ini diancam Allah akan mendapatkan bencana dan malapetaka sebagaimana kutukan dan adzab Allah yang diturunkan kepada kaumnya Nabi Luth a.s..
Hormon seksual yang ditanamkan Allah, penyalurannya hanya dibenarkan melalui pernikahan. Oleh sebab itu, jalan satu-satunya untuk memelihara kesehatan manusia adalah menikah. Apabila manusia terpaksa menahan penyaluran dorongan seksual ini karena tidak memiliki pasangan yang sah, ia akan mengalami berbagai gangguan yang berpengaruh pada kesehatan fisiknya.
Dalam salah satu pernyataan PBB yang disiarkan oleh harian Asy-Sya’ab, edisi Sabtu 6 Juni 1959, disebutkan, “Orang-orang yang bersuami istri, umurnya lebih panjang daripada yang tidak bersuami istri, baik karena ditinggal mati, perceraian, atau hidup membujang.” Selanjutnya disebutkan bahwa orang-orang yang menikah ketika masih remaja, ternyata umurnya lebih panjang.
Pernyataan ini didasarkan pada penelitian dan statistik yang dilakukan oleh PBB. Dalam statistik itu disebutkan, “Adalah benar bahwa jumlah orang yang mati dari kelompok yang bersuami istri lebih kecil dibandingkan dengan mereka yang tidak bersuami istri dalam berbagai tingkatan umur. Dari data-data statistik ini dapat disimpulkan bahwa pernikahan berguna bagi laki-laki dan perempuan, sehingga kekhawatiran atas bahaya hamil atau melahirkan berkurang, bahkan dewasa ini bukan merupakan ancaman bagi kehidupan semua bangsa.”
0 komentar:
Posting Komentar